So one day I found a book on how to tell a character by the way they write, from where they are starting their lines, and where they stop.
Those who write with straight up letters, are people who demand clarity.
Those who starts their lines in the middle of an empty paper, don't think about material as focus of their life - instead, they love attention.
Those who likes to doodle rectangular and curve lines, love to imagine. A day dreamer. Art oriented.
Those who doodle with numbers, have some sense of logic.
My gosh, if a person love to doodle pictures and numbers, will have their logic and imagination clash almost all the time. As the usage of brain and emotion are equally balance. (damn it!)Those who keeps writing to the edge of the paper until the letters have to be squeezed into small letters, often bump themselves to the "wall", allow themselves to fall, again and again...and just never learn...as their passion to achieve things that inspire and light up their life just stop them from thinking rationally. (so where did the brain factor here?)
Those who the ending stroke of their signatures is going up will have good fortune material wise (Gosh...really? Change urs! Quick! :-) )
Those whose signatures are cut into small lines often has emotion that change every seconds depend on the mood and situations.
But heck..above all...those who loves to write letters are romantic individuals by nature...(Are you? ) - to bad, in the era of electronic mails, no-one leave their personal marks by stroke of inks anymore, just to show they care. Where did the time go?I love emails - but I miss seeing our old mailman honking his motorcycle and call my name: "Rachma! Mail for ya!!! :-)"-
Jan 15, 2010, 23:40
Thursday, January 21, 2010
suatu siang tentang cinta (by Rachma)
Waktu itu mobil baru saja selesai diperbaiki. Ada beberapa kabel yang memang sudah rusak dimakan tikus-tikus yangberkeliaran di garasi rumah. Mobil itu hadiah Daddy buat Ummi. Hadiah ulang tahun. Bertahun-tahun Daddy, membawa kami dari sekolah, pergi kerja, hanya dengan lobil fiat tua yang sekarang ada di tanganku. Kembali ke awal cerita, Jules menceritakan bahwa lagu ST12, yang liriknya ‘satu jam saja ke telah bisa cintai kamu di hatiku..’ sedang diputar di tape mobil itu. Dia menyetir, Ummi duduk di-sampingnya. Dari sudut mata, Jules melihat bahwa Ummi terdiam memandang ke kejauhan. Tiba-tiba dalam diamnya Ummi nangis, tapi terlihat dia tidak sadar kalau Julesta, suamiku, melihat itu. Pikirannya dipenuhi oleh rasa kehilangan suami, Daddy, yang sudah berpuluh tahun menemani.
Paragraf di atas sebenarnya karena siang ini aku berpikir tentang kehidupan berpasangan. Aku ingat Jules siang itu, setelah bercerita, mengatakan, “Rachma, mungkin itulah cinta ya? Dimana mereka saling mengisi satu sama lain, saling support. Terlepas dari argumen yang juga mewarnai hari-hari mereka dari muda hingga sekarang, tapi sering kita merasakan sakitnya setelah belahan hati itu hilang.”
Aku hanya bisa diam saja. Aku bisa merasakan kesedihan itu. Tahun lalu Ummi membersihkan rumah habis-habisan setelah membiarkan begitu saja selama 3 tahun. Tapi tetap menyusunnya kembali seperti sedia kala. Yang paling menakjubkan adalah susunan meja kerja Daddy, serta urutan koleksi buku-bukunya masih tetap sama. Beberapa hari yang lalu aku melihat-lihat ke dalam laci meja kerja itu, dan semua masih tetap sama, seolah-olah Daddy masih tetap ada.
Sering kita merasa jatuh cinta. Hati berdegup keras, kegugupan yang melanda, pikiran yang jadi tidak pernah fokus terhadap urusan kehidupan. Tapi cinta jauh lebih dari itu. Hanya ada satu hati yang bisa pas letaknya mendampingi hati yang lain. Mencintai itu sebenarnya cukup diwujudkan dalam sikap, bukan tuntutan. Tidak perlu pembuktian, tapi cukup dengan perilaku. Semua itu, walau kadang tidak sering terucapkan, seperti di generasi Daddy dan Ummi, akan tumbuh menjadi sesuatu yang indah, yang dikenang selalu oleh pasangan cinta seseorang.
Antara aku dan Julesta, semoga cinta itu terus terjaga. Begitu juga dengan anak-anak kami nantinya. Aku sangat menikmati kehidupanku dengannya.
Paragraf di atas sebenarnya karena siang ini aku berpikir tentang kehidupan berpasangan. Aku ingat Jules siang itu, setelah bercerita, mengatakan, “Rachma, mungkin itulah cinta ya? Dimana mereka saling mengisi satu sama lain, saling support. Terlepas dari argumen yang juga mewarnai hari-hari mereka dari muda hingga sekarang, tapi sering kita merasakan sakitnya setelah belahan hati itu hilang.”
Aku hanya bisa diam saja. Aku bisa merasakan kesedihan itu. Tahun lalu Ummi membersihkan rumah habis-habisan setelah membiarkan begitu saja selama 3 tahun. Tapi tetap menyusunnya kembali seperti sedia kala. Yang paling menakjubkan adalah susunan meja kerja Daddy, serta urutan koleksi buku-bukunya masih tetap sama. Beberapa hari yang lalu aku melihat-lihat ke dalam laci meja kerja itu, dan semua masih tetap sama, seolah-olah Daddy masih tetap ada.
Sering kita merasa jatuh cinta. Hati berdegup keras, kegugupan yang melanda, pikiran yang jadi tidak pernah fokus terhadap urusan kehidupan. Tapi cinta jauh lebih dari itu. Hanya ada satu hati yang bisa pas letaknya mendampingi hati yang lain. Mencintai itu sebenarnya cukup diwujudkan dalam sikap, bukan tuntutan. Tidak perlu pembuktian, tapi cukup dengan perilaku. Semua itu, walau kadang tidak sering terucapkan, seperti di generasi Daddy dan Ummi, akan tumbuh menjadi sesuatu yang indah, yang dikenang selalu oleh pasangan cinta seseorang.
Antara aku dan Julesta, semoga cinta itu terus terjaga. Begitu juga dengan anak-anak kami nantinya. Aku sangat menikmati kehidupanku dengannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)