Thursday, February 27, 2014

Sesal - lagu bagus Ermi Kulit :)

Ketika kau terbayang,
kurasa merasa bersalah,
karna kesungguhanmu,
tlah sekian lama kuabaikan...

Namun kau memang tulus,
dan tak pernah putus asa,
walau aku tenggelam,
di kedalaman angan semu yang melupakanmu...

Sekarang, harus bagaimana
akhirnya hatimu pun luka
sekarang kucari ke mana
dirimu tlah tiada lagi
kasihmu, tak kutemukan lagi...

...

Aku selalu suka lagu ini
Suka dengan penyanyinya Ermi Kulit
Punya kekuatan suara berat yang bisa menyeret
Lirik yang juga bagus...

Ah, tapi dalam hidup
Banyak manusia yang pergi ketika sakit
Tapi banyak pula yang memaafkan

Bersyukurlah
Bagi kita yang masih dijaga...

Carpe Diem! Selamat hari Jum'at dunia blog...

Tuesday, February 25, 2014

Perempuan baik itu iparku...

Malam ini aku ingin menulis tentang seorang perempuan, seorang istri... Aku kenal perempuan ini mungkin sudah hampir 13 tahun. Ia perempuan Sunda, manis, berhijab panjang. Pertama aku melihat wajahnya hanya melalui foto dan sederetan kata berisi bio-data. Seperti layaknya seseorang hendak melamar pekerjaan. Aku memandangi foto itu, kemudian membaca satu persatu penjelasan tentang dia, mulai dari keterangan fisik, umur, hobi, orang tua, bahkan sampai penyakit orang tuanya dan lain sebagainya. Foto itu adalah bagian dari sebuah surat yang dilayangkan dari Cairo, dari adik iparku.

Surat itu adalah penjelasan dan permohonan izin dari kedua orang tua suamiku bahwa adik iparku yang laki laki siap untuk menempuh rumah tangga dengan si perempuan manis berhijab tadi. Perempuan itu senang membaca Quran, paham isinya, tetapi masih terus belajar. Ibu mertuaku, yang memang sering berbagi cerita dengan aku, duduk berpikir. Aku juga jadi berpikir. Inilah ta'aruf. Sesuatu yang sering aku dengar, tetapi jauh dari budaya yang aku jalani - bahkan ketika menjadi pacar suamiku dulu selama 7 tahun! Hal yang sungguh berbeda. Ta'aruf. What kind of nonsense is this??? Menolak logikaku yang tidak mengerti bagaimana cinta bisa lahir dari ta'aruf. Akan tetapi tidaklah tepat untuk aku menghakimi bahwa hal tersebut tidak baik, karena agama Islam, agama yang aku anut, menganjurkannya. Dan aku belum pernah menyaksikan kegagalan sebuah hubungan yang dimulai dengan ta'aruf. Justru banyak yang kawin cinta malah gagal total.

Anyway, bukan soal ta'arufnya yang mau dibahas. Akan tetapi soal si perempuan tersebut. Ketika pernikahan akhirnya disetujui, kami kemudian bertemu dengan si perempuan tersebut, setelah prosesi pernikahan selesai dan ia dibawa ke kota kami, ke rumah mertuaku... Untuk dikenalkan dengan sanak saudara dan untuk memulai babak kehidupan mereka yang baru. Canggung kami semua melihat mereka bergandengan masuk ke rumah. Kami berbisik, geli karena pandangan yang tak lazim. Tapi perempuan itu hanya tersenyum manis sambil memegang tangan suaminya sepanjang waktu. "Ia penyabar" bisikku dalam hati. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, aku langsung bisa melihat bahwa ia penyabar. Kami juga melihat mereka sebagai pasangan muda saling memandang. Aku berpikir, mungkin itu romantisnya ta'aruf... Romantis yang diiringi keikhlasan, cinta yang dibangun karena Allah. Perempuan ini penuh cinta, datang masuk ke keluarga kami (keluarga besar suamiku).

Dalam kegiatan-kegiatan kami yang lainnya, seperti biasa jika perempuan berkumpul, maka mulailah celoteh saling membalas. Kadang berguyon, kadang berbagi cerita. Ya namanya perempuan, dengan keimanan yang mungkin naik turun, kadang tersempil gosip, ghibah, dan lain lain. Yang terasa makin nikmat ditelan telinga setelah dibumbui dengan bumbu-bumbu cerita. Tetapi yang aku perhatikan dari perempuan itu, dia tidak pernah ikut serta dalam cerita yang kurang bermanfaat. Maksudku, dia terlibat, tetapi lebih sering melempar senyum. Bukan sebagai aktor yangikut menceritakan hal-hal yang tidak perlu. Dia menjaga lidahnya, menjaga kata-katanya. 

Di lain kesempatan, ketika dia harus melahirkan anak-anaknya. Ibu mertuaku bercerita bahwa tidak dalam satu detikpun ia mengeluh atau mengerang ketika cengkraman bayi yang enggan melihat dunia seperti mencekik dan merobek tulang punggungnya. Aku tahu rasa itu, dari pengalaman melahirkan tiga anak. Memang dalam pengalamanku, sama sekali juga tidak menjerit karena mungkin sudah makan nasihat orang tua yang mengingatkan bahwa harus tetap sabar. Akan tetapi, perempuan itu, iya justru senyum! Aku ingat ibu mertuaku geleng geleng kepala keheranan melihat ia hanya senyum selagi kontraksi berlangsung!!! Tidak ada kernyitan atau keluh kesah. Hanya istighfar, menyebut nama Allah dan senyum! 

Perempuan itu memang tidak terlihat agresif. Tetapi aku dan suami sering memperhatikan bahwa dia konsisten terhadap tekadnya. Suatu hari suamiku melihat dia yang waktu itu dalam keadaan hamil, berjalan oelan di bawah terik matahari dengan membawa 1/2 galon air minum. Pelan berjalan. Berhenti. Berjalan lagi. Berhenti. Berjalan lagi. Berhenti. Ternyata ia baru dari warung membeli air hanya 1/2 galon untuk minum. Tidak memungkinkan bagi ia untuk membawa segalon air seorang diri, dan dalam keadaan hamil. Konsistensi dan keteguhan kepada niat yang ada pada diri perempuan itu begitu besar! (Sudah pasti suamiku langsung membantu ketika melihat kejadian itu, sementara suami si perempuan memang sering dipanggil oleh tugas untuk kemaslahatan ummat). 

Suatu ketika lagi, ketika Daddy (ayahku) meninggal dunia. Walau kami belum begitu dekat setelah sekian tahun. Mungkin karena budaya dan background kami yang berbeda, aku ingat penyesalan yang aku sampaikan bahwa aku ingin jadi anak yang lebih baik. Waktu itu aku merasa waktu tidak berpihak padaku. Tapi perempuan itu dengan tegas, tapi lembut, menyampaikan beberapa ayat Quran menjelaskan bahwa jalan kebaikan itu tetap ada. Begitu melegakan. Ini adalah salah satu contoh dakwah sederhana yang ia kerjakan. 

Dakwah lain juga begitu banyak! Dan dikerjakan terus bertahun-tahun secara konsisten. Ia sering bepergian ke pelosok daerah, membawa anaknya yang kecil-kecil secara bergantian, untuk mengajarkan agama, membaca Quran, berdiskusi, dengan cakupan diskusi yang begitu luas. Mulai dari soal pengembangan diri, keluarga, kerabat, dan bangsa. Aku lihat sendiri mereka berkumpul berhari-hari tanpa henti. Tanpa lelah. Begitu seringnya sehingga kami yang melihat kadang heran dengan energi mereka. Hampir jarang aku menemui mereka yang kala itu masih tinggal di tumah mertua, karena hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan kemasyarakatan. Kadang kami justru mengeluh karena rindu mereka. Atau mertuaku kadang mengeluh karena mereka mengorbankan sebagain dari hartanya untuk dakwah, untuk kepentingan umat. Kadang kami sampai berpikir, lah ya kok bisa mikirin ummat lebih dari memikirkan kami-kami ini? Tapi guess what! Kami lupa bahwa kami juga ummat. Yang mereka lakukan adalah untuk kami dan saudara-saudara kami juga. Mereka kerja siang malam tanpa henti. Seiring dengan waktu kami justru belajar dari keikhlasan mereka. Kami sering berharap untuk punya kelapangan hati yang luar biasa. 

Perempuan ini juga sering terpaksa harus sendiri dan bersabar. Karena suaminya juga bekerja lebih dari full time untuk kemajuan bangsa, cita-cita mereka... Dan teman-temannya. Hal yang sudah dilakukan suaminya sejak lama seaktu dia muda di Cairo dulu - bergabung dalam dakwah dan bekerja secara konsisten untuk kemajuan bangsa. Justru kadang aku yang complain dan berseloroh mengatakan bahwa ia sudah hampir sama dengan istri "bang thoyib" karena selalu ditinggal. Tapi ia senyum saja dan menjelaskan bahwa ia tahu, suaminya bukan hanya miliknya dan anak-anak merek, tapi milik ummat. Kami sering melongo, walau diam-diam, dengan jawaban-jawaban yang begitu ikhlas. Tanpa dikonsep, tanpa ditata. Ikhlas dalam ucapan pertama, karena memang ikhlas dari hati. Kami juga sering berdiskusi dengan mereka, adu argumen dengan tata cara mereka. Argumen yang sehat dan saling membangun. Sering kami heran kenapa mereka tetap pada jalannya,... Tapi akhirnya kami mengerti bahwa jalan itu tidaklah mudah.  Perempuan ini adalah bagian dari sekian banyak dari kepedulian mereka terhadap anak bangsa. Konsep sukarelawan tanpa bayaran, itu hal yang sudah mendarah daging dengan mereka, sudah dari dulu! Tanpa perlu dipromosi juga tetap berjalan. Karena rasa sukarela mereka didasarkan oleh keyakinan kepada Maha Ikhlas. Itulah kekuatan sukarela mereka. Konsep membantu sesama untum maju di bidang ekonomi juga bukan makanan baru, tapi sudah sejak awal. Lah aku sendiri lihat kinerja mereka. Konsep membantu saat bencana juga bukan hal baru, lah ya keberanian mereka untuk maju itu didasari kekuatan hati akan perintah Allah semata. Gak dikasih masuk ke sebuah lokasi? Mereka tidak mundur... Inilah gigih. Inilah konsistensi. Inilah cita-cita. 

Perempuan manis ini berjilbab panjang. Dulu aku belum berjilbab bahkan. Akan tetapi mungkin jika dunia luar tahu, bagaimana hubungan kami. Kami berbeda dari gaya, dari latar belakang, dari pendidikan, .... Tapi apa dunia tahu kalau dulu ketika mereka menikah, aku diminta untuk membantu mereka foto, desain dan sebagainya? Tidak ada siratan sikap yang "anti" terhadap aku ya g kala itu belum berjilbab. Oh Gosh... Malah dulu aku pakai baju sering terbuka! :) Tidak ada komentar tentangku. Tidak ada protes. Dan yang lucunya, semua rekan kerja da. Teman-teman cukup heran melihat perbedaan antara aku dan dia selaku iparku. Atau antara suamiku dan suami dia yang sebenarnya saudara kandung! "Aaah.... Ga mungkin!!! Kok bisa gitu??!!!" Itu kalimat yang biasa yang aku dengar ketika mereka tahu kalau kami bersaudara. "Loh! Suamimu abang suami dia??? Kok bedaaaa??" - kami hanya tersenyum. 

Dalam pikiranku, betapa kerdilnya jika kita hanya berpikir bahwa nilai persaudaraan itu harus dilandasi oleh sebuah kain penutup kepala atau penampilan. Aku sekarang toh mengerti bahwa menutup aurat itu adalah bagian dari tata cara menghormati perempuan yang memang merupakan mahkluk yang sangat mulia. Begitu berharganya sehingga ia hanya bisa dinikmati secara halal oleh muhrimnya. Dan semua itu proses! Penutup aurat juga bukan legitimasi kekuatan iman seseorang, bahwa serta merta ia mulia... Ah, kenapa jadi bicara soal jilbab? Tapi ya itu tadi, ... Kenapa harus merasa aneh jika seseorang dengan gaya seperti aku dekat dengan yang gayanya selerti iparku?? Yang lain kadang menilai sampai mendiskreditkan, lupa bahwa itu tidak disarankan... Sementara kami santai-santai saja. Kenapa tidak bisa dewasa menyikapinya? 

Aku juga dulu punya penilaian yang kurang berpihak kepada adik iparku. Karena aku tidak mengerti dia. Manusia sering mengambil keputusan sepihak. Tapi seiring dengan waktu, aku melihat bahwa ia penyabar, konsisten dengan niatnya, ikhlas, tulus, dan selalu berbuat untuk kebaikan.

Banyak perempuan lain seperti dia. Istiqomah dalam pilihan di dalam hidupnya. Konsisten dalam langkahnya. Terus... Seperti roda ya g berputar. Orang lain mencemooh, mereka tidak membalas, hanya tersenyum. Tidak pernah sekalipun aku mendengar mereka membalas. Mungkin gerak geriknya terlihat lambat... Pelan, tapi hey, mereka ibarat kura-kura yang pelan, tapi terus berjalan dan semakin bertambah bijak. Pelan, tetapi terus berjalan dengan keyakinannya dan mencapai cita-citanya. 

Terus terang, aku salut sama ini perempuan - dan juga dengan rekan-rekannya. Mereka bekerja tanpa pamrih, tanpa perlu disiarkan. Mereka bekerja bukan untuk citra, bukan untuk posisi atau status, tapi karena Allah semata. Ini yang menjaga ahklak mereka, dan meneguhkan sikap mereka.

Oh well, blog ini ditulis karena aku sedikit kecewa dengan komentar-komentar yang aku baca di dunia maya yang sering sekali... Masya Allah, ... Pedas dan keji, terhadap saudara seagama sendiri. Sedangkan dengan mereka yang lain keimanan kita wajib menjaga lidah, apalagi dengan yang seiman! 
Betapa seringnya manusia diombang-ambing oleh nafsu dan keinginan yang begitu besar sehingga lupa untuk konsisten. Lupa untuk berlidah mulia. Lupa mengingat saudara... 

Mudah-mudahan suatu hari akan berubah. Bahwa manusia-manusia baik seperti kedua iparku ini tidak dipandang dengan sinis. Tapi toh, jika itu tetap terjadi...sudah disebutkan juga dalam dakwah Rasulullah, bahwa di akhir zaman banyak hal yang akan terbalik. Yang baik dihinakan, yang hina dibaikkan. But guess what? Aku juga tahu ipar-iparku ini tidak akan berubah. Kudos for them on their persistence and good heart. 

Mudah-mudahan rasa kecewaku malam ini bisa berubah besok. 

Monday, February 24, 2014

Yesterday

This morning listening to Katy Perry singing one of my favorite Beatles song titled “Yesterday”. Sitting alone in the office, just thinking – Every day I have to be here way early than everybody else. Often time with my sleepy mind I would just growl in my head – thinking how much sleep I am loosing each morning for the same routine. Well, today is the day I am trying to be positive and thought, my God, … each morning I am blessed to have my own time to think and review my life. Think and plan about the future, my future and my children’s future. My God! This is my own quality time.

Sometimes I forget to think about all the blessings I have. Meanwhile those blessings come to me in so many forms. Forgetting that I have been so lucky with what I have. Sometime I regret the past, regretting things I did not do yesterday… thinking with “if only” - while I know, deep down in my heart, that every step I took is for a reason. I did not make choices only based on my own logic and instinct. I know there a Great power who led me to those many decisions. I have to remind myself this each day, that sometimes I don’t get what I want, but I get what 
I need. I get what I need for my life and soul. 
I get what I need for my happiness and experience.

Yesterday, … love was such an easy game to play, now I need a place to hide away…. The lyric is actually not encouraging, for the lyric is telling us to admire the past and hide from the future. But damn it is a good song! But hopefully, again I am trying to light up my spirit again that yesterday was just yesterday. I am not going to be fascinated by the gazing stars and forget about the moon [the blessings] that actually light up the night.

Yesterday, may you only become a smile to my thought. Yesterday, may you trigger me to count my blessings each day. Yesterday, may you inspire me to writhe thousands poetry about the moon, not just the stars…


Isn’t this song beautifully done by Ms. Perry? Still is my favorite song. 


http://www.youtube.com/watch?v=NVsD-tFchD0