Sudah hampir setahun perjalanan ibadah umroh kami jalankan. Memang benar kata pepatah, tiadalah yang lebih mahal di kehidupan ini selain waktu yang hilang di depan mata. Perjalanan umroh keluarga, yang mungkin menurut beberapa orang biasa saja, akan tetapi merupakan perjalanan tak terlupakan bagi kami... Bagiku, bagi suamiku dan anak-anak...
Kejutan Rezeki
Siapa sangka rezeki datang dari mana. Ketika aku baca kembali tulisanku ketika pertama kali berhijab, ada doa kecil di sana, doa untuk bisa singgah di kota Sang Pembelah Bulan... Kota Kekasih Segala Umat, dan rezeki itu datang tanpa disangka-sangka. Kami akhir ya bisa berangkat sekeluarga, ... Anugrah yang luar biasa. Alhamdulillah. Setiap malam kami melihat tayangan ritual umroh dan sejarah jejak para Rasul serta perjuangannya di kedua kota di tanah Haram tersebut. Kadang aku berpikir, mungkin inj bagian dari doa-doaku yang dikabulkan Allah ketika membaca novel cerdas tentang Rasulullah setiap pagi di pos satpam kantor...atau doa suamiku juga? Atau doa anak-anak? Yang jelas, siapapun itu, doa tersebut dianugerahkan ke tangan kami. Alhamdulillah ... Persiapan demi persiapan dilakukan dalam waktu yang singkat. Jujur, aku sedikit takut, ... Mengingat semua yang pernah aku jalani dalam hidup ... Takut karena sering mendengar hal konyol dari mereka ya g pernah ke sana, bahwa akan selalu ada balasan... Ya Allah, pikirku, ... ampunkan hambamu ini.. Kasihani kami... Begitupun, aku persiapkan semua untuk perjalanan. Aku sempatkan buat buku panduan umroh untuk kami, ya karena suka desain, di desain sesuai dengan selera masing masing penggunanya... Sampai jahit baju untuk keberangkatan! Yes :) jahit sendiri dong! .... Biar hemat! Hee hee... Belum belanja segala kelengkapan, ... Mulai susu formula, pampers, susu anak-anak, kaos kaki, manset, ini dan itu...
Tapi untuk saran bagi yang akan berangkat..., sebenarnya tidak perlu kuatir dengan kelengkapan. Di sana semua ada dan murah!!! Baju banyak! Abaya banyak! Baju ala Arab untuk laki-laki (namanya top) juga banyak! Dan semua di jual di sekitar hotel. Makanan juga berjibun, mulai dari susu, keju, yoghurt, ice cream, nasi kurma, lauk... Semua ada! Buah-buahan...minuman segar, jus mangga... You name it! Semua tersedia ... Jadi koper juga tidak perlu di-isi padat-padat. Lagian toh baju yang kotor sedikit jika dicuci kering dalam waktu kurang dari sejam! (pengalaman pribadi)
Walau banyak juga bawaan kami karena membawa tiga anak, tapi mungkin pengalaman sebagai light traveller membuat kami juga realistis dan praktis ketika packing. Walhasil 4 koper tidak terisi penuh. Padatnya juga karena bawa pampers Dzar, ... Yang mana juga sedikit konyol seolah olah di Mecca sana tidak ada yang jual pampers. Begitu juga dengan ihram. Membawa dua pasang ihram untuk suamiku. Ternyata di sana juga banyak banget. Tapi ya kalau disuruh kasih saran, bawalah ihram yang tipis kalau musim panas, dan bawa satu oasang juga tidak apa.
Kami berangkat dengan paket yang cukup menarik. Tawaran 16 hari di sana ternyata terasa singkat. Untung adik ipar sendiri yang punya travel, sehingga agak mudah bagi kami untuk pengaturan dan persiapan. Yah, hitung hitung, ibadah juga, daur rezeki sesama ipar juga :)
Langit Jingga
Ya ampun ketika berangkat memang anak-anak menjadi tantangan yang luar biasa :) . Tantangan yang menyenangkan ... Baby Dzar aktif luar biasa, terlalu gembira dengan perjalanan jauhnya yang pertama. Begitu juga Dasha dan Aqila, walau berusaha tenang. Mereka cukup baik dengan sekali-kali menghafal ayat-ayat dalam buku panduan. Kami berdua harus menjaga mereka ditambah Ummi yang juga ikut serta. Perjalanan terasa biasa bagiku, ya mungkin karena sudah terlalu sering naik pesawat jarak jauh. Tapi anak-anak...wah! Mereka seperti dapat lotere terbesar, main rumah-rumahan di pesawat. Ganti channel bolak-balik, makan bolak-balik... Dan yang paling lucu ke toilet bolak-balik karena suka dengan susunan di toilet!! Ugh... Kadang kami hampir hilang kesabaran, tapi kadang jadi geli sendiri... Tiap berapa menit Aqila merasa harus ke toilet. Sementara jika Aqila ke toilet Dasha juga ikut. Nah artinya baby Dzar akan heboh mau ikut juga. Waduh, ... Untung suamiku itu penyabar luar biasa ke anak-anak. Walau baby Dzar pake acara ngamuk, ga mau pakai seatbelt, nangis sampai muntah, tapi ya teuteup.... Nikmat juga...
Tiba di Jeddah, setelah perjalanan 8 jam dan transit di Kuala Lumpur memberikan kelegaan yang luar biasa. Cuma sedikit miris melihat petugas imigrasi di bandara yang sedikit kurang bersahabat dengan pendatang dari Indonesia. Tapi, kadang terus terang aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka, karena sering sikap kita, jemaah dari Indonesia, suka sembrono, berantakan, dan tidak mengerti banyak hal. Kami membantu di sana-sini, karena kasihan juga melihat muthawwif yang sudah hampir hilang suara untuk mengatur sana sini... Dan pada akhirnya semua teratur juga, bisa duduk manis dalam bis menuju Madinah, ....perhentian pertama di tanah Haram. Kami sekeluarga duduk di row paling belakang. Suamiku mengajarkan beberapa sejarah Islam, ... Kami membahas soal agama, hal yang sering kami lakukan di Medan, di rumah, tetapi kali ini terasa lain ... Kali ini terasa jauh lebih dekat. Dekat dengan sejarah, dekat dengan perjuangan Rasulullah, merasa satu nafas dengan semua ciptaan Allah ... Anak-anak terlelap, baby Dzar tetap dalam gendongan abachnya.... Dan tak lama, aku juga terlelap di bahunya, bahu lelaki pelindungku...
Tiba-tiba, aku dibangunkan...walau masih letih, telinga tetap secepat kilat menangkap pemberitahuan bahwa kami akan memasuki Madinah... Semua penumpang terdiam, mendengarkan panduan doa oleh sang ustadz... Mengikuti sebaik mungkin, ... Bait demi bait, ayat demi ayat, ... Waktu itu menjelang fajar di Madinah.... Aku melihat beberapa jemaah berjalan, abaya dan burqa mereka dihembus angin yang lumayan kencang. Sepasang suami istri berjalan, sedikit terhuyung, menentang angin, menuai pahala dalam langkah-langkahnya menuju Nabawi.
Jantungku berdegup kencang, Ini lebih gila dari perasaanku dulu ketika pertama kali menginjakkan kaki di benua Amerika! Jauh lebih gila, ... Kami kemudian tiba di dekat hotel, turun dari bus. Seketika aku merasakan dinginnya angin pagi Madinah. Tetapi dingin yang menyambut, ...lembut lantunan ayat Al Quran terdengar, ...dan hal pertama aku lihat bukan Nabawi, ... Tapi langit jingga Madinah. Warna jingga itu tidak bisa dilupakan. Aku seperti hanyut dalam suasana dan kuasa Allah. Jingga yang tidak sama dengan warna langit ketika matahari terbit atau tenggelam di belahan manapun di bumi ini. Ntahlah, mungkin hanya aku yang merasa begitu, tapi warna langit jingganya begitu menarik jiwaku. Sambil menunggu yang lain turun dari bus, aku hanya bisa mengucapkan Alhamdulillah dan Subhanallah berkali-kali. Kerongkonganku tersekat menahan tangis, karena ya Tuhan.... Baru di Madinah saja rasanya sudah kurang layak untukku, mengingat semua kekurangan dan dosa, apalagi surgaMu ya Rabb... Doaku singkat, hanya meminta supaya awal dan proses ibadah kami berjalan lancar dan dalam ridhonya. Peluk kami ya Rabb ...
Saat menunggu check in ke hotel, aku seidkit ngobrol dengan Ummi... Tiba2 kami berdua teringat Daddy. Aku smalaikan ke Ummi, jika bisa mengulang waktu, aku akan menerima tawaran Daddy untuk berangkat haji. Cuma mungkin aku waktu itu terlalu muda. Ummi, dengan mata berkaca-kaca, cuma mengatakan bahwa waktu tidak akan bisa kembali. Yang penting adalah kami sudah berada di situ...bersama-sama...dan dia untuk Daddy mudah-mudahan akan terkabulkan. Semoga beliau dilapangkan kuburnya, diterangkan di sana, ditinggikan derajatnya, dan amal ibadahnya diterima Allah. Bagaimanapun, Daddy adalah orang tua yang luar biasa bagi kami, kekasih kami, tempat berkeluh kesah, tempat belajar, ...
Payung Tanpa Hujan
Setelah membereskan perlengkapan, mebereskan anak-anak kami berjalan menuju Masjid Nabawi. Masjid berwarna putih krem itu menungggu. Ini beda dari yang dilihat di televisi. Berbeda dari apa yang sering kita dengar dari cerita traveller yang pernah di sana. Berbeda dengan apa yang kita baca di internet, lihat di majalah... Sangat berbeda. Kali ini Nabawi menunggu kami. Menungguku. Ketika tiba di gerbangnya, kami sebagai dua orang yang belajar arsitektur membicarakan keindahan masjid itu. Bagaimana perkembangannya sejak dulu yang dibangun oleh Rasulullah, hanya sepetak kecil disebelah kamar Aisyah. Hari ini Nabawi menjadi saksi tangis dan senyuman begitu banyaknya umat manusia. Payung payung putih terkembang sebahagian, melindungi mereka yang beribadah, dari matahari yang terik, tetapi bagi kami tidak menyengat. Hanya panas, tapi panas yang setiap insan terima dengan ikhlas. Suamiku mengajak baby Dzar masuk ke section laki-laki untuk sholat. Sementara aku berjalan dengan dua anak gadisku ke section perempuan. Deg degan ... Jantungku berdegup lebih keras dari rasa pertama jatuh cinta, atau ketika menghadapi ujian mekanika teknik, deg degan yang sangat nikmat... Yang aku rasa, hanya aku dan Dia yang tau. Tapi aku masih belum menangis, ...
Pintu megah itu terbuka lebar dan seorang perempuan memakai niqab hitam memeriksa tas setiap tamu yang masuk. Jujur aku sedikit gugup karena membaca cerita kadang kita tidak diberi izin masuk kalau membawa camera, atau benda-benda yang tidak layak. Tapi ternyata perempuan petugas itu begitu ramah. Hiasan henna di tangannya, dan gelang emas yang melingkar di lengannya yang tertutup kain niqab membuatku berpikir, ah, ... Perempuan ya tetap perempuan... Keindahan ada pada wanita itu. Ini sama sekali jaih dari tulisan-tulisan yang kadang memberikan review yang jelek. Subhanallah, katanya ketika melihat kedua anakku. Aku tersenyum.
Tiba di jalur untuk sholat. Aku mengajarkan Dasha dan Aqila bahwa mereka harus tertib, sholat dan berdoa untuk hal-hal yang penting bagi mereka. Tiba waktuku untuk beribadah. Ibadah kali ini juga berbeda. Aku merasa seperti di interview. Seperti melamar pekerjaan, atau menyatakan perasaanku, tapi dengan emosi yang masih sederhana. Hingga sujud pertama mengingatkan aku bahwa di masjid yang sama, hanya beberapa langkah, terbujur kekasih Allah yang teramat mulia. Bersamanya sahabatnya yang setia. Dan aku runtuh di situ. Semua perjalanan hidup berputar putar di sekitarku. Malu yang luar biasa mengingat semua kesalahan, keserakahan, keculasan, .... Malu karena rasa bangga yang hina, malu karena kemunafikan ... Ya Tuhan, ya Rabb... Ampunkan aku, suamiku, orang tuaku, saudara-saudaraku... Jauhkan anak-anakku dari langkah yang salah.
Sujud kedua, juga sama.... Berputar putar. Tau rasanya bagaimana terbang tanpa sayap? Tubuh terasa ringan tak terkendali, seperti terhisap ke dalam medan magnet? Ingin bisa mengendalikan perasaan, tapi tidak kuasa. Karena memang tidaklah kekuasaan itu di tanganku...
Begitu seterusnya. Doaku random, merasa waktu begitu sempit. Doaku random, mencoba mengingat kira kira siapa lagi yang harus aku doakan. Begitu banyak hal yang penting, begitu sempit waktu. Begitu singkat waktu untuk berterima kasih, atas kehidupan yang aku miliki.
Tiba-tiba aku baru sadar akan dua gadis kecilku yang duduk resah melihat ke mataku yang basah. Bukan tangis ketakutan saja, tapi tangis bahagia karena hari itu pertama kali aku dekat dengan Rasulullah... Begitu jauhnya selama ini. Aqila bertanya, "Amie, ... Amie gak apa apa?" ...resah kakaknya menenangkan Aqila,"Hush, Amie lagi berdoa tu..." - Aku kemudian memanggil mereka mendekat dan menjelaskan bahwa kami begitu beruntung bisa berada di Nabawi hari itu. Aku menjelaskan bahwa tangis bukan saja simbol kesedihan, tapi juga ketika kebahagaiaan. Tangis diciptakan agar melegakan perasaan. Dan hari itu aku ingatkan kembali mereka bahwa tidak ada kekayaan lain di dunia ini selain mereka dan bahwa keinginan aku dan abach mereka tidak lain kecuali mereka menjadi ksatria-ksatria Islam yang siap membela agama, masyarakat, menjadi pemimpin, menjaga sesama keluarga.... Dasha mengerti. Aqila masih bingung.
Setelah itu kami berjalan keluar, untuk menemui suamiku. Dari jauh aku lihat dia mengawasi Dzar yang berlari ke sana ke mari. Ternyata. Ia sudah menunggu lebih dari satu jam.... Begitulah, ... sholat 2 rakaat dan doa di Nabawi bisa begitu lama - karena mungkin kita manusia merindukan kedekatan itu.
Ya Allah, jaga cinta kami.... Engkaulah payung itu, yang melindungi kami walau tanpa hujan...
Tapi benarlah apa yang dikatakan dalam Novel pembelah bulan, dana cerita para ulama, bahwa Madinah adalah negri yang damai. Kedamaian itu terasa sampai ke tulang sum-sum...merambat di dalam nadi.
Pagi pertama di Madina
::// jaurinata